Penulis Sonika, Dosen STAB Maitreyawira, Universitas Riau, dan Budayawan Tionghoa Riau
Perkataan Qing Ming bermakna hari yang cerah atau bersih (Qing) dan terang atau cemerlang (Ming). Momen Festival Qing Ming (清明節) yang jatuhnya pada tiap 5 April penanggalan masehi bagi masyarakat Tionghoa sedunia melaksanakan tradisi sembahyang atau ritual pembersihan makam atau pusara leluhur Tionghoa. Bisa dilaksanakan pada -10 hari H atau +10 dengan membawa dupa (hio), lilin, kertas panca warna, dan persembahan berupa kue-kue, manisan, lalu bersujud di pusara leluhur dengan ritual berdoa atau bersembahyang sesuai keyakinannya. Putra-putri atau keturunannya dengan setulus hati dan kebersihan jiwa melaksanakan ungkapan bakti kepada leluhur, sebagai wujud penghormatan kepada leluhurnya sebagai anak berbakti.
Menurut tradisi masyarakat Tionghoa dunia dengan sembahyang di pusara leluhur dapat membina persaudaraan antar saudara yang lama tak bertemu, memohon perlindungan dan keberuntungan dengan leluhur, biasanya anggota keluarga akan memilih Fēngshuǐ(风水)atau tata letak pusara leluhurnya agar dapat memberikan perlindungan dan keselamatan keluarga yang ditinggalkan. Makna Festival Qing Ming ini merupakan wujud bakti (xiàoshùn) yang sesungguhnya, membalas budi kepada leluhur, bermoral(daode) dan unsur mendidik yang tinggi. Tradisi budaya ini sudah berlangsung ribuan tahun dan sampai sekarang masih konsisten diteruskan.
Historis pertama kali muncul istilah Qing Ming pada masa dinasti Han sekitar 206 SM lalu, menurut catatan historis pada masa itu terdapat seorang pangeran mahkota kerajaan bernama Zhòng'ěr (重耳) di kerajaan Jìn guó(晋国, para menterinya yang membelot dan berambisi menguasai kerajaan, ingin membunuh pangeran muda. Pangeran ketika itu didampingi seorang menteri sangat setia bernama Jiè zhī tuī (介之推 ), pangeran dan menterinya terpaksa hidup dalam pengembaraan selama 19 tahun, dengan sangat menderita di hutan dan perkampungan penduduk, makanan yang ada sangat sedikit berupa kacangan dan sayuran hutan apa adanya. Suatu hari sang pangeran calon Mahkota Raja berkata kepada pengikut dan menterinya bahwa kalau ia mati tidak apa-apa, namun yang menjadi pikiran dan tanggung jawabnya adalah untuk menyelamatkan Negara dari penghianat kerajaan, yang menyengsarakan rakyat. Mendengar perkataan Pangeran muda yang mengharukan menteri setianya, Jiè zhī tuī atau Kai cu tui meneteskan airmata dan terus mencari cara untuk mempertahankan kehidupan Pangerannya.
Sampai pada pengembaraan yang mengenaskan kehabisan makanan beberapa hari, tiada yang bisa dimakan oleh pangeran, kemudian Jiè zhī tuī memotong sedikit daging kakinya, lalu dimasak dan disajikan kepada sang pangeran. Kejadian melarikan diri kemudian berakhir Pangeran sudah memasuki istana dan menjadi Raja yang dikenal dengan Jìn wéngōng(晋文公, 697-628 SM), nama asli Jī zhòng'ěr(姬重耳) pada dinasti Han, akhir Dinasti Zhou masa Musim Semi Dan Musim Gugur yang dikenal “Chun Qiu”. Raja mulai memberikan anugerah kedudukan kepada orang yang berjasa sebagai Menteri atau Panglima istananya. Seketika melupakan budi jasa Jiè zhī tuī (Hokkian;Kai Cu Tui) namun diingatkan oleh pejabat lainnya dan Raja memutuskan untuk mencari orang yang berjasa terhadapnya untuk dijadikan menteri kerajaan. Jiè zhī tuī mengetahui maksud Raja, ia segera meninggalkan kampung halaman bersama ibunya memasuki hutan untuk bersembunyi, karena ia tidak berambisi untuk mendapatkan balasan Raja berupa jabatan atau kedudukan kerajaan.
Raja memerintahkan para panglimanya untuk segera mencari Jiè zhī tuī dimana-mana di dalam hutan dan gunung-gunung, namun tidak ketemu. Kemudian muncul ide seorang menteri untuk membakar lahan hutan agar menteri Kai bisa segera keluar dari hutn, Raja pun menyetujui ide tersebut. Dengan di bakarnya hutan tersebut terjadilah kebakaran besar yang menghanguskan semua yang ada di hutan. Setelah padam apinya semua dikerakan untuk mencari jenazah Kai dan Ibunya, tepat di tepi sebatang pohon Liu yang besar, Raja menemukan seorang sudah menjadi arang dengan mengendong Ibunya, itulah tubuh jasad Kai dan ibundanya. Raja melihatnya sangat sedih dan coba mengangkatnya, terlihat dibalik Kayu pohon Liu ada lobang besar yang di dalamnya ada lipatan kain baju Jiè zhī tuī, lalu diambil, dibaca oleh Raja dengan berlutut membuka isi kain yang bertulisan darah dengan kalimat yang berbunyi:
”Hamba memotong daging sendiri untuk Tuanku Raja janganlah dibesar-besarkan, ini hanya perbuatan hati nuraniku.Tuanku janganlah menangis dan sedih berkepanjangan, saya hanya berharap setiap saat Tuanku dengan Qing Ming ( setiap saat harus bersih dan cemerlang), bila menjadi Raja maka jadilah Raja yang bersih dan Cemerlang .Saya memang menunggu Tuanku untuk bertemu, namun apa daya sampai mati kebakaran dan jadi hantu pun tak bertemu. Bila mau dipaksakan anggaplah saya tetap menjadi menteri setiamu. Andaikata di hati Baginda masih ada saya dan setiap mengenang atau memikirkan saya, hanya satu kata yang ku mau dari Baginda yaitu ; Introspeksi, meniliklah ke dalam diri. Walaupun saya mati dan menjadi hantu penghuni di neraka kesembilan pun saya rela dan bahagia. Raja pulihkanlah kecemerlangan dan kesucian hatimu, Qing Ming Cai Qing Ming.
Kata-kata tulisan darah tersebut membuat Raja terus berlinangan air mata membacanya dan menjadikan kata-kata tersebut sebagai moto hidup dan memimpin Kerajaannya. Mulai saat itulah muncul sebutan Qing Ming dan perayaan pertama sampai sekarang. Raja Jìn wéngōng mengeluarkan maklumat kepada seluruh rakyatnya untuk tidak menyalahkan api dapur untuk memasak atau memanas makanan sehari sebelum peringatan untuk mengenang budi jasa Jiè zhī tuī yang wafat terbakar api dan di peringati setiap tahunnya oleh masyarakat dengan Festival Makanan Dingin (Cold Food Day) atau Hánshí jié (寒食节)semua makanan di makan dalam keadaan dingin namun tradisi ini sudah kurang dilakukan masyarakat Tionghoa.
Kisah Menteri setia Jiè zhī tuī yang mempersembahkan daging kakinya sendiri untuk makanan raja telah berlalu dan tak bisa dilupakan orang pengorbanannya, namun sebagai manusia juga tidak boleh melupakan budi jasa leluhur atau orangtua (ayah-bunda) yang telah berkorban untuk anaknya. Misalnya seorang Ibu atau Mama telah mengorbankan jiwa raga demi anaknya. Ibu yang melahirkan anak telah mengeluarkan banyak darah, bahkan memotong daging untuk operasi caesar. Menurut Buddha hari kelahiran manusia adalah sama dengan hari musibah bagi seorang ibu, karena seorang ibu harus mengorbankan nyawa demi melahirkan kita di dunia ini, mungkin kita tidak pernah lupa dengan hari ulang tahun kelahiran yang sangat bahagia dirayakan tiap tahun, namun apakah kita ingat akan penderitaan seorang ibu pada saat kelahiran itu, juga ayah yang bersusah payah mencari nafkah membesarkan kita, memberi pendidikan dan mengajarkan kasih sayang.
Sebagai seorang anak kita haruslah berintrospeksi pada momen Qing Ming dengan memaknainya ; Pertama : mengingat budi jasa leluhur dan orang tua yang sudah meninggal, datang bersujud, hormat dan berterima kasih kepada mereka ; Kedua : setiap saat sebagai anak dan cucu berbakti menambah kecemerlangan roh suci, memuliakan budi luhur (kebajikan) leluhur atau orangtua yang telah tiada, dengan berbuat kebajikan (dana paramita) atas nama mereka, memberikan sukacita kepada mereka di alam sana, itulah wujud bakti yang termulia ; Ketiga : Wujud bakti adalah kunci kesuksesan seorang anak dan landasan kepribadian atau karakter seseorang, hidup yang sukses terletak pada bagaimana kita membalas budi jasa orangtua. Tiga budi besar orang tua kepada anaknya adalah budi melahirkan, budi membesarkan, dan budi memberikan pendidikan. Semasa hidup mencukupi kebutuhan orangtua dan merawat mereka, setelah meninggal juga melaksanakan kewajiban sebagai anak berbakti. Ini semua janganlah dilupakan baru bisa mencapai kesuksesan dan keselamatan di dunia, hanya orang berbakti senantiasa dijauhi pikiran dan perbuatan jahat.
Pepatah Tionghoa mengatakan “Kehidupan yang makmur sejahtera berasal dari ayoman kebajikan leluhur”. Semoga semua berbahagia dan damai.*
Penulis Sonika, Dosen STAB Maitreyawira, Universitas Riau, dan Budayawan Tionghoa Riau
Ritual di Momen Qing Ming
Tradisi Sembahyang Pusara Tionghoa
opini | Kamis, 30 Maret 2023 | 14:06:14 WIB
Editor : wislysusanto | Penulis : Sonika
Perkataan Qing Ming bermakna hari yang cerah atau bersih (Qing) dan terang atau cemerlang (Ming). Momen Festival Qing Ming (清明節) yang jatuhnya pada tiap 5 April penanggalan masehi bagi masyarakat Tionghoa sedunia melaksanakan tradisi sembahyang atau ritual pembersihan makam atau pusara leluhur Tionghoa. Bisa dilaksanakan pada -10 hari H atau +10 dengan membawa dupa (hio), lilin, kertas panca warna, dan persembahan berupa kue-kue, manisan, lalu bersujud di pusara leluhur dengan ritual berdoa atau bersembahyang sesuai keyakinannya. Putra-putri atau keturunannya dengan setulus hati dan kebersihan jiwa melaksanakan ungkapan bakti kepada leluhur, sebagai wujud penghormatan kepada leluhurnya sebagai anak berbakti.
Menurut tradisi masyarakat Tionghoa dunia dengan sembahyang di pusara leluhur dapat membina persaudaraan antar saudara yang lama tak bertemu, memohon perlindungan dan keberuntungan dengan leluhur, biasanya anggota keluarga akan memilih Fēngshuǐ(风水)atau tata letak pusara leluhurnya agar dapat memberikan perlindungan dan keselamatan keluarga yang ditinggalkan. Makna Festival Qing Ming ini merupakan wujud bakti (xiàoshùn) yang sesungguhnya, membalas budi kepada leluhur, bermoral(daode) dan unsur mendidik yang tinggi. Tradisi budaya ini sudah berlangsung ribuan tahun dan sampai sekarang masih konsisten diteruskan.
Historis pertama kali muncul istilah Qing Ming pada masa dinasti Han sekitar 206 SM lalu, menurut catatan historis pada masa itu terdapat seorang pangeran mahkota kerajaan bernama Zhòng'ěr (重耳) di kerajaan Jìn guó(晋国, para menterinya yang membelot dan berambisi menguasai kerajaan, ingin membunuh pangeran muda. Pangeran ketika itu didampingi seorang menteri sangat setia bernama Jiè zhī tuī (介之推 ), pangeran dan menterinya terpaksa hidup dalam pengembaraan selama 19 tahun, dengan sangat menderita di hutan dan perkampungan penduduk, makanan yang ada sangat sedikit berupa kacangan dan sayuran hutan apa adanya. Suatu hari sang pangeran calon Mahkota Raja berkata kepada pengikut dan menterinya bahwa kalau ia mati tidak apa-apa, namun yang menjadi pikiran dan tanggung jawabnya adalah untuk menyelamatkan Negara dari penghianat kerajaan, yang menyengsarakan rakyat. Mendengar perkataan Pangeran muda yang mengharukan menteri setianya, Jiè zhī tuī atau Kai cu tui meneteskan airmata dan terus mencari cara untuk mempertahankan kehidupan Pangerannya.
Sampai pada pengembaraan yang mengenaskan kehabisan makanan beberapa hari, tiada yang bisa dimakan oleh pangeran, kemudian Jiè zhī tuī memotong sedikit daging kakinya, lalu dimasak dan disajikan kepada sang pangeran. Kejadian melarikan diri kemudian berakhir Pangeran sudah memasuki istana dan menjadi Raja yang dikenal dengan Jìn wéngōng(晋文公, 697-628 SM), nama asli Jī zhòng'ěr(姬重耳) pada dinasti Han, akhir Dinasti Zhou masa Musim Semi Dan Musim Gugur yang dikenal “Chun Qiu”. Raja mulai memberikan anugerah kedudukan kepada orang yang berjasa sebagai Menteri atau Panglima istananya. Seketika melupakan budi jasa Jiè zhī tuī (Hokkian;Kai Cu Tui) namun diingatkan oleh pejabat lainnya dan Raja memutuskan untuk mencari orang yang berjasa terhadapnya untuk dijadikan menteri kerajaan. Jiè zhī tuī mengetahui maksud Raja, ia segera meninggalkan kampung halaman bersama ibunya memasuki hutan untuk bersembunyi, karena ia tidak berambisi untuk mendapatkan balasan Raja berupa jabatan atau kedudukan kerajaan.
Raja memerintahkan para panglimanya untuk segera mencari Jiè zhī tuī dimana-mana di dalam hutan dan gunung-gunung, namun tidak ketemu. Kemudian muncul ide seorang menteri untuk membakar lahan hutan agar menteri Kai bisa segera keluar dari hutn, Raja pun menyetujui ide tersebut. Dengan di bakarnya hutan tersebut terjadilah kebakaran besar yang menghanguskan semua yang ada di hutan. Setelah padam apinya semua dikerakan untuk mencari jenazah Kai dan Ibunya, tepat di tepi sebatang pohon Liu yang besar, Raja menemukan seorang sudah menjadi arang dengan mengendong Ibunya, itulah tubuh jasad Kai dan ibundanya. Raja melihatnya sangat sedih dan coba mengangkatnya, terlihat dibalik Kayu pohon Liu ada lobang besar yang di dalamnya ada lipatan kain baju Jiè zhī tuī, lalu diambil, dibaca oleh Raja dengan berlutut membuka isi kain yang bertulisan darah dengan kalimat yang berbunyi:
”Hamba memotong daging sendiri untuk Tuanku Raja janganlah dibesar-besarkan, ini hanya perbuatan hati nuraniku.Tuanku janganlah menangis dan sedih berkepanjangan, saya hanya berharap setiap saat Tuanku dengan Qing Ming ( setiap saat harus bersih dan cemerlang), bila menjadi Raja maka jadilah Raja yang bersih dan Cemerlang .Saya memang menunggu Tuanku untuk bertemu, namun apa daya sampai mati kebakaran dan jadi hantu pun tak bertemu. Bila mau dipaksakan anggaplah saya tetap menjadi menteri setiamu. Andaikata di hati Baginda masih ada saya dan setiap mengenang atau memikirkan saya, hanya satu kata yang ku mau dari Baginda yaitu ; Introspeksi, meniliklah ke dalam diri. Walaupun saya mati dan menjadi hantu penghuni di neraka kesembilan pun saya rela dan bahagia. Raja pulihkanlah kecemerlangan dan kesucian hatimu, Qing Ming Cai Qing Ming.
Kata-kata tulisan darah tersebut membuat Raja terus berlinangan air mata membacanya dan menjadikan kata-kata tersebut sebagai moto hidup dan memimpin Kerajaannya. Mulai saat itulah muncul sebutan Qing Ming dan perayaan pertama sampai sekarang. Raja Jìn wéngōng mengeluarkan maklumat kepada seluruh rakyatnya untuk tidak menyalahkan api dapur untuk memasak atau memanas makanan sehari sebelum peringatan untuk mengenang budi jasa Jiè zhī tuī yang wafat terbakar api dan di peringati setiap tahunnya oleh masyarakat dengan Festival Makanan Dingin (Cold Food Day) atau Hánshí jié (寒食节)semua makanan di makan dalam keadaan dingin namun tradisi ini sudah kurang dilakukan masyarakat Tionghoa.
Kisah Menteri setia Jiè zhī tuī yang mempersembahkan daging kakinya sendiri untuk makanan raja telah berlalu dan tak bisa dilupakan orang pengorbanannya, namun sebagai manusia juga tidak boleh melupakan budi jasa leluhur atau orangtua (ayah-bunda) yang telah berkorban untuk anaknya. Misalnya seorang Ibu atau Mama telah mengorbankan jiwa raga demi anaknya. Ibu yang melahirkan anak telah mengeluarkan banyak darah, bahkan memotong daging untuk operasi caesar. Menurut Buddha hari kelahiran manusia adalah sama dengan hari musibah bagi seorang ibu, karena seorang ibu harus mengorbankan nyawa demi melahirkan kita di dunia ini, mungkin kita tidak pernah lupa dengan hari ulang tahun kelahiran yang sangat bahagia dirayakan tiap tahun, namun apakah kita ingat akan penderitaan seorang ibu pada saat kelahiran itu, juga ayah yang bersusah payah mencari nafkah membesarkan kita, memberi pendidikan dan mengajarkan kasih sayang.
Sebagai seorang anak kita haruslah berintrospeksi pada momen Qing Ming dengan memaknainya ; Pertama : mengingat budi jasa leluhur dan orang tua yang sudah meninggal, datang bersujud, hormat dan berterima kasih kepada mereka ; Kedua : setiap saat sebagai anak dan cucu berbakti menambah kecemerlangan roh suci, memuliakan budi luhur (kebajikan) leluhur atau orangtua yang telah tiada, dengan berbuat kebajikan (dana paramita) atas nama mereka, memberikan sukacita kepada mereka di alam sana, itulah wujud bakti yang termulia ; Ketiga : Wujud bakti adalah kunci kesuksesan seorang anak dan landasan kepribadian atau karakter seseorang, hidup yang sukses terletak pada bagaimana kita membalas budi jasa orangtua. Tiga budi besar orang tua kepada anaknya adalah budi melahirkan, budi membesarkan, dan budi memberikan pendidikan. Semasa hidup mencukupi kebutuhan orangtua dan merawat mereka, setelah meninggal juga melaksanakan kewajiban sebagai anak berbakti. Ini semua janganlah dilupakan baru bisa mencapai kesuksesan dan keselamatan di dunia, hanya orang berbakti senantiasa dijauhi pikiran dan perbuatan jahat.
Pepatah Tionghoa mengatakan “Kehidupan yang makmur sejahtera berasal dari ayoman kebajikan leluhur”. Semoga semua berbahagia dan damai.*