PEKANBARU- Sidang korupsi anggaran perjalanan dinas di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Riau Tahun 2022 senilai Rp2,3 miliar lebih dengan terdakwa mantan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Riau Tengku Fauzan Tambusai, kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.
Kali ini, prnasehat hukum terdakwa Heriyanto menghadirkan dua ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Riau (Unri), Selasa (29/10.24). Keduanya adalah, Ahli Hukum Pidana Erdiansyah dan Ahli Hukum Adminisrasi Negara Dr Dodi Haryono.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Jimmi Maruli SH MH itu, keterangan kedua ahli sangat memnguntungkan bagi terdakwa. Pasalnya, keterangan keduanya, membantah keterangan ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU).
Keterangan ahli audit keuangan dari Inspektorat Riau yang dihadirkan JPU sebelumnya sempat dicecar kuasa hukum terdakwa terkait kewenangan Inspektorat dalam penghitungan kerugiaan negara dan keabsahan penghitungan audit yang dilakukan. Apalagi, adanya perbedaan jumlah uang dan uraian kejadian dari dua audit yang dikeluarkan oleh Inspektorat Riau.
Ditambah lagi, kuasa hukum meragukan keahlian dari saksi ahli inspektorat tersebut, karena ahli menyatakan BPK merupakan bagian dari APIP. Sehingga inspektorat berhak melakukan penghitungan kerugiaan negara.
Terkait hal itu, Ahli Hukum Administrasi Negara Dr Dodi Haryono SH MH menyatakan BPK bukan bagian APIP. Alasannya, BPK punya undang-undang sendiri.
“Sehingga tidak bisa disamakan kedudukan dan kewenangannya,”kata Dodi.
Selain itu dia juga menyatakan, jika suatu perbuatan dimulai dengan kedudukan sebagai pejabat administrasi, maka penyelesaiannya juga harus dengan cara ahministratif. Apalagi kalau sudah ada proses pemeriksaan oleh Inspektorat selaku pengawas internal pemerintahan.
“Sehingga sudah seharusnya diselesaikan dulu proses internal pemerintahan. Setelah itu, baru aparat penegak hukum bisa mengambil alih dan memprosesnya secara hukum pidana,”ungkapnya.
Sementara terkaitan Surat Pertanggungjawaban Mutlak, menurut Dodi itu merupakan tanggungjawab mutlak dari pihak yang menandatangani (pencairan SPPD fiktif) tersebut. Sehingga tidak bisa beban pertanggungjawabannya kepada pihak lain atau dikenal dengan azas persona responsibility.
Sementara itu, Ahli Hukum Pidana Erdiansyah SH MH dalam penjelasannya menyatakan, apabila proses hukum dimulai dengan kesalahan atau cacat prosedur, maka produk hukum yang dihasilkan dari proses hukum tersebut juga menjadi cacat hukum. Terutama berkaitan dengan hak-hak yang diberikan kepada terlapor maupun tersangka.
“Seperti pemberian SPDP yang berdasarkan Putusan MK nomor 130/PUU-XIII/2015 menjadi hak bagi terlapor, untuk kepentingan pembelaan dirinya. Jika SPDP tersebut tidak pernah diberikan atau terlambat diberikan, jelas merupakan pelanggaran dan proses hukum tersebut menjadi cacat,”tegasnya.
Erdiansyah juga menjelaskan, berkaitan dengan Putusan MK nomor 25/PUU-XIV/2016, Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Tipikor menjadi delik materil, yang mewajibkan adanya nilai pasti kerugian negara melalui audit, harus dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang.
”Jika hal ini tidak terpenuhi, maka penetapan sebagai tersangka dan pengajuan sebagai terdakwa dalam persidangan menjadi tidak sah dan cacat hukum,”ulasnya.
Usai sidang, kuasa hukum terdakwa menyatakan, berdasarkan keterangan ahli, sudah sangat jelas perkara ini dipaksakan. Karena begitu banyak cacat prosedur yang terjadi.
“Tengku Fauzan baru menerima SPDP saat sudah ditahan, sesuai dengan dakwaan Penghitungan Kerugian Negara itu baru keluarkan dibulan Juli 2024. Sedangkan Tengku Fauzan telah ditetapkan tersangka pada tanggl 15 Mei 2024,”papar Heriyanto.
Fakta lainnya sebut Heriyanto, pada saat penetapan tersangka tersebut, ternyata Tengku Fauzan masih dalam proses pemeriksaan oleh tim Internal Pemerintah Provinsi Riau secara administratif. Seharusnya kejaksaan tidak boleh mengambil alih pemeriksaan, karena proses itu belum selesai sebagaimana dengan keterangan ahli hukum.
“Sekarang tinggal bagaimana kebijaksanaan dan keberanian hakim dalam memberikan putusan, dengan begitu banyaknya keanehan dalam proses hukum perkara ini dan banyaknya ketidaksesuaian keterangan saksi-saksi. Kita berdoa bersama semoga hakim dapat melihat ini dengan hati bersih dan jernih,”harapnya.
Dalam perkara ini, terdakwa dijerat JPU Dewi Shinta Dame SH MH dkk, dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2021 atas perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan hasil audit, ditemukan kerugian keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 2.332.826.140.*